"Itu
dia!"
Correl menunjuk sebuah kastil di kanannya dengan pedang, di sela-sela deretan pohon raksasa yang menyerupai pohon pinus. Kabut tebal yang dingin dan gelap mengelilingi mereka. Ketiga sahabatnya menghentikan langkah mereka dan mengikuti arah tatapannya.
Sungguh kastil yang terlewat megah untuk
seorang pengkhianat kerajaan.
Kastil itu sangat besar, dengan
dinding batu yang lembap dan dingin, menjulang tinggi mengangkasa. Gerbangnya tersusun dari besi hitam yang besar, dengan tinggi melebihi dinding batunya. Struktur dinding kastilnya terlihat agak kasar dengan pilihan batuan yang sembarangan, seolah-olah tidak dirancang untuk keindahan. Sesaat terlintas keraguan di dalam benak mereka. Kastil itu dingin, kejam
dan sangat sunyi--terlalu sunyi.
"Aneh" ucap Correl.
"Sangat
kejam! Selama puluhan tahun ia mengkhianati ayahmu lalu
meninggalkan kerajaan begitu saja dan sekarang ia mempunyai kastil sendiri? Tidak adil! Apa yang diperbuatnya selama ini?" ucap Rhona dengan murka.
"Sttt! Bisakah kau mengecilkan suaramu?"
"Tidak perlu. Dia bisa mengetahui di mana kita sekarang dari jarak sejauh apapun."
"Tapi tidak para pengawalnya, ingat?"
Mereka semua diam seribu bahasa, sampai akhirnya
seseorang yang membawa busur di tangannya bersiul.
"Aneh. Ke mana semua pengawalnya?"
"Kurasa dia tidak memerlukan pengawal. Dia bisa menjaga dirinya sendiri." jawab Rhona ketus, dengan suara yang lebih kecil.
Rhona menatap kastil itu lekat-lekat.
"Bagaimana bisa dia membangun itu semua dalam waktu singkat? Kita memerlukan bertahun-tahun untuk melakukannya." nadanya memancarkan rasa takjub.
"Yap," Hassa menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Kira-kira berapa lama ya yang dibutuhkan seorang Rajah untuk menciptakan sebuah kastil?" ucapannya mencibir. "Akan kuingat kata-katamu,
Rhona."
"Hei!" balas Rhona. Mukanya merah padam. "Aku tahu dia memiliki ilmu sihir tingkat tinggi--tingkat dewa bahkan! Hanya saja, betapa
beraninya dia membangun sebuah kastil untuk dirinya sendiri? Dia mengejek kita!" nada Rhona meninggi.
"Dia memiliki ilmu hitam, kau tahu itu. Mengapa dia tidak bisa membuat kastil dalam sekejap? Itu tidak mustahil untuknya, dan tidak ada yang berhak melarang dia." sanggah Hassa dengan santai.
"Dia mempermainkan kita!" geram Rhona.
"Kurasa
itulah alasannya." ucap Correl menengahi.
Mereka kembali menatap kastil tersebut.
"Menurut
kalian, sanggupkah kita membunuh Rajah?" Keir yang daritadi tidak melepaskan tatapannya terhadap kastil tersebut tiba-tiba memecah kesunyian.
Ucapan
Keir membuat mereka semua kembali terdiam dan berpikir sekali lagi.
Sanggupkah kami membunuhnya?
"Entahlah. Jujur saja setelah aku melihat kastil itu dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak yakin. Aku sudah bisa
merasakan bulukudukku berkata 'tidak' untuk ini." ucap Hassa lesu, tangannya mencengkeram erat busurnya.
"Kau terlalu memuja dia." bisik Rhona seraya melirik Hassa, mengejeknya.
"Sihirnya empat kali lipat lebih hebat dibandingkan dengan sihir kita, Rhona!" balas Hassa.
"Dan haruskah aku yang selalu menengahi kalian berdua?" sambar Correl.
"Mungkin kau benar. Kita semua gugup,
dan ketakutan." kata-katanya jelas ditujukkan untuk Hassa.
"Terserah kau." Hassa melangkah maju.
Rhona menyusul sambil tersenyum kecut. Yang lain
hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengikutinya. Mereka
berempat berjalan dengan serabutan melewati pohon pinus dan semak-semak liar. Kabut masih terus menghalangi pandangan mereka.
Gerbang kastil terlihat semakin jelas. Hitam legam, sangat tinggi dan kokoh. Baru. Tidak tercium aroma karat yang biasanya dihasilkan oleh logam tua.
"Sangat
sepi."
"Terlalu
sepi."
Mereka
memperlambat langkah mereka, berhati-hati mengamati sekeliling mereka.
"Ada
yang aneh." komentar Correl.
"Terimakasih
telah mengingatkan. Sekarang aku sediri merasa aneh." ucap
Rhona, limbung.
"Rhona?"
"Hah?"
Sebelum
mereka sanggup menahan napas, satu per satu dari mereka ambruk. Pandangan mereka mengabur menjadi hitam dan kepala
mereka seperti dihantam dengan benda keras. Mereka mendengar tulang mereka berderak di dalam tubuh mereka. Tangan mereka mencengkeram kepala mereka yang nyaris meledak. Mereka berguling-guling karena sakit yang luar biasa mereka rasakan, namun justru itu menambah rasa sakitnya. Rhona membuka matanya dan menatap ketiga sahabatnya seperti orang gila. Rhona mengulurkan tangannya ke arah Hassa, dan kegelapan menyelimutinya.